Minggu, 26 Oktober 2014

“Rasulullah SAW bersabda : “Rencana ALLAH SWT untuk kebangkitan islam akhir zaman telah berlaku zaman kenabian atas kamu, maka berlakulah zaman kenabian itu sebagaimana yg ALLAH SWT kehendaki. Kemudian ALLAH SWT mengangkat zaman itu. Kemudian …berlakulah zaman kekhalifahan (Khulafa’ur Rasyidin) yg berjalan seperti kenabian. Maka berlakulah zama itu sebagaimana ALLAH SWT kehendaki. Kemudian ALLAH SWT mengangkatnya pula. Kemudian berlakulah zaman penindasan dan penzaliman (pemerintahan liberal/diktator/demokrasi) dan berlakulah zaman itu sebagaimana yg ALLAH SWT kehendaki. Kemudian berlaku pula zaman kekhalifahan (Imam Mahdi dan nabi Isa AS) yg berjalan diatas cara hidup zaman kenabian.” kemudian baginda nabi SAW diam.” [HR. Ahmad]
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah Wan Nihayah juz 11/398 menyebutkan :
“Dan di antara yang menjadi dalil bahwa mereka (Khilafah Daulah Fathimiyyah) adalah orang-orang yang memberikan pengakuan dusta (bahwa mereka adalah Ahlul Bait), sebagaimana disebutkan oleh para ulama yang terhormat itu dan para imam yang utama, dan bahwasanya mereka (Daulah Fathimiyyah) tidak memiliki hubungan nasab sama sekali dengan Ali bin Abi Thalib juga kepada Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pengakuan mereka. Adalah ucapan sahabat Abdullah bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma kepada Al Husain bin Ali bin Abi Thalib ketika akan berangkat ke Iraq, yaitu saat para penduduk kota Kuffah mengirimkan utusan kepada beliau dan berjanji akan memberikan bai’at kepadanya.
Ibnu Umar berkata : “Janganlah engkau pergi ke sana karena sesungguhnya aku takut engkau akan terbunuh, dan sesungguhnya kakekmu (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah diminta oleh Allah untuk memilih dunia atau akhirat, dan beliau memilih akhirat dibandingkan dunia. Sedangkan engkau adalah bagian dari beliau dan sesungguhnya demi Allah, engkau tidak akan mendapatkannya (kekhalifahan), engkau maupun salah satu di antara orang setelahmu, juga Ahlul Bait mu”.
*Kita berada di zaman penindasan dan kezhaliman (mulkan jabbariyah), dan selama imam mahdi belum muncul tidak ada khalifah dari ahlul bait berdasarkan hadits….
Ibnu Katsir kemudian menjelaskan : “Kalimat yang berkedudukan Hasan Shahih, yang tertuju pada kepada masalah ini dan sangat masuk akal, yang disampaikan oleh sahabat yang mulia ini menunjukkan bahwa : TIDAK AKAN ADA KHALIFAH DARI AHLUL BAIT KECUALI MUHAMMAD BIN ABDULLAH AL MAHDI (IMAM MAHDI) YANG AKAN DIANGKAT DI AKHIR ZAMAN BERSAMA DENGAN TURUNNYA NABI ISA IBNU MARYAM. HAL INI KARENA DEMI MENJAGA AGAR AHLUL BAIT TIDAK TERPEDAYA DENGAN DUNIA DAN AGAR TIDAK MENGOTORI KEMULIAAN MEREKA”.(Al Bidayah Wan Nihayah Juz 11/398)
Berdasarkan atsar hasan shahih ini dan berbagai komentar ahli nasab terhadap keluarga Al Badry, tidak sedikit yang mengatakan bahwa nasab Al Badry bukanlah Ahlul Bait. Namun demikian jika memang benar bahwa nasab Al Badry di mana Syaikh Abu Bakar Al Baghdady dilahirkan merupakan Ahlul Bait maka kemungkinannya adalah :
Pertama : Syaikh Abu Bakar Al Baghdady menjadi Khilafah bukan di atas Manhaj Nubuwwah karena masih belum memenuhi syarat-syarat wilayah, tamkin, ahlul halli wal aqdy dan sebagainya menurut jumhur ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhir.
Dan juga karena khilafahnya didirikan dengan dasar ghalabah sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan (pendiri Daulah Umayyah) atau Abul Abbas Ash Shaffah (pendiri Daulah Abbasiyyah). Atsar Ibnu Umar di atas sangat jelas menyebutkan bahwa Khalifah dari Ahlul Bait setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Al Hasan bin Abi Thalib adalah Muhammad bin Abdullah Al Mahdi.SEBELUM AL MAHDI, MEMANG AKAN MUNCUL KHILAFAH TAPI KHALIFAHNYA BUKAN DARI AHLUL BAIT.
Adapun mengenai pentingnya syura yang melibatkan jumhur ulama’ berikut penjelasan Asy Syahid –kamaa nahsabuh- Sayyid Quthb tentang pentingnya Syura :
“Di sini, di ayat-ayat ini menggambarkan kekhasan jama’ah ini (jama’atul muslimin) yang mana sifat ini telah dilekatkan secara kuat dan menjadi sifat utamanya, padahal ayat-ayat ini sifatnya Makkiyah yang diturunkan sebelum berdirinya Daulah (Khilafah) Islam di Madinah. Sesungguhnya kami menemukan bahwa di antara sifat jama’ah ini adalah : “…dan urusan-urusan mereka itu diputuskan dengan syuro di antara mereka”. Dari ayat yang diwahyukan Allah di atas, maka sesungguhnya penempatan kedudukan syura pada kehidupan kaum muslimin lebih dalam dari sekedar sebagai aturan politik kenegaraan. Syura adalah tabi’at yang sangat mendasar bagi jama’atul muslimin secara keseluruhan di mana semua urusan mereka didasarkan atas syura tersebut, kemudian dari jama’atul muslimin itulah syura diaplikasikan pada Daulah (khilafah) dengan sifat asasnya sebagai sebuah proses alami pada Daulah Islamiyyah”. (Fie Zhilalil Qur’an 6/327)
Dari penjelasan Sayyid Quthb di atas bisa kita pahami bahwa Syura adalah asas utama umat ini dan dengan syura pula Khilafah Islamiyyah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah akan ditegakkan. Lalu bagaimana jika proses syura ini yang justru disepelekan oleh ISIS??
Dengan syura, semua pihak bisa saling memberi nasehat, saling menghargai perbedaan dan saling memberikan masukan. Semestinya ISIS memberikan penghargaan dan keutamaan kepada para masyayikh jihad untuk dilibatkan dalam syura Ahlul Halli Wal Aqdy, karena buah jihad ini adalah berasal dari benih yang ditanam, dirawat dan dijaga oleh para masyayikh pendahulu mereka itu.
Allah Azza Wa Jalla berfirman : “Dan Allah memberikan setiap mereka yang memiliki keutamaan (balasan) keutamaannya”. (Qs. Huud : 3)
AL QUR’AN MENGAJARKAN KEPADA KITA AGAR KITA MENGHARGAI KEUTAMAAN PARA PENDAHULU KITA DALAM ILMU DAN AMAL.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata : Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :“Bukan dari kalangan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda di antara kami. Dan menghargai hak orang yang alim di antara kami.” (HR. Imam Ahmad dan Hakim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bukan dari kalangan kami orang yang tidak mengasihi yang lebih muda di antara kami dan menghargai kemuliaan orang tua di antara kami”. (HR. Ahmad)
Sabda Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, “bukan dari kalangan kami” adalah pelepasan diri yang berkonsekuensi bahwa pelakunya berhadapan dengan ancaman tersebut dan ia menyimpang dari manhaj yang benar, sesat dari jalan yang lurus, Minhaajun Nubuwwah.
Dari Abdullah Bin Umar Radhiallaahu ‘Anhu, Bahwasanya Suatu Ketika Kami Duduk-duduk Di Hadapan Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam Memperbincangkan Masalah Berbagai Fitnah…. Beliau-pun Banyak Bercerita Mengenainya, Sehingga Beliau Juga
Menyebut FITNAH AHLAS…. Maka Seseorang Bertanya, Apa Yang
Dimaksud Dengan Fitnah Ahlas.….. Beliau Menjawab :
” Yaitu Fitnah Pelarian Dan Peperangan. …. Kemudian fitnah SARRA, Kotoran Atau Asapnya Berasal Dari AHLUL BAIT-ku. Ia Mengaku Dariku (KETURUNANKU), Padahal Bukanlah Dariku. Karena
Sesungguhnya WALI-ku Hanyalah Orang-orang Yang
Bertaqwa.

… Kemudian Manusia Bersepakat Pada Seseorang Seperti Bertemunya Pinggul Di Atas Tulang rusuk. Kemudian Fitnah DUHAIMA, Yang Tidak Membiarkan Seseorang Dari Ummat Ini Kecuali Dihantamnya. Jika Dikatakan ia Telah Selesai, Maka ia Justru Berlanjut. Di Dalamnya Seorang Pria Pada Pagi Hari Beriman, Tetapi Pada Sore Harinya ia Menjadi Kafir.Sehingga
Manusia Menjadi Dua Kelompok. (Yaitu) Kelompok Keimanan Yang
Tidak Mengandung Kemunafikan….. Dan Kelompok Kemunafikan Yang Tidak Mengandung Keimanan….. Jika Itu Sudah Terjadi, Maka Tunggulah Kedatangan Dajjal Pada Hari Itu Atau Esok Hari.”
[ HR. Abu Dawud ]

Wallahu a’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar