“Rasulullah SAW bersabda : “Rencana
ALLAH SWT untuk kebangkitan islam akhir zaman telah berlaku zaman
kenabian atas kamu, maka berlakulah zaman kenabian itu sebagaimana yg
ALLAH SWT kehendaki. Kemudian ALLAH SWT mengangkat zaman itu. Kemudian
…berlakulah zaman kekhalifahan (Khulafa’ur Rasyidin) yg berjalan seperti
kenabian.
Maka berlakulah zama itu sebagaimana ALLAH SWT kehendaki. Kemudian ALLAH
SWT mengangkatnya pula. Kemudian berlakulah zaman penindasan dan
penzaliman (pemerintahan liberal/diktator/demokrasi) dan berlakulah
zaman itu sebagaimana yg ALLAH SWT kehendaki. Kemudian berlaku pula
zaman kekhalifahan (Imam Mahdi dan nabi Isa AS) yg berjalan diatas cara
hidup zaman kenabian.” kemudian baginda nabi SAW diam.” [HR. Ahmad]
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al Bidayah Wan Nihayah juz 11/398 menyebutkan :
“Dan di antara yang menjadi dalil bahwa mereka (Khilafah Daulah
Fathimiyyah) adalah orang-orang yang memberikan pengakuan dusta (bahwa
mereka adalah Ahlul Bait), sebagaimana disebutkan oleh para ulama yang
terhormat itu dan para imam yang utama, dan bahwasanya mereka (Daulah
Fathimiyyah) tidak memiliki hubungan nasab sama sekali dengan Ali bin
Abi Thalib juga kepada Fathimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam sebagaimana pengakuan mereka. Adalah ucapan sahabat Abdullah
bin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhuma kepada Al Husain bin Ali bin
Abi Thalib ketika akan berangkat ke Iraq, yaitu saat para penduduk kota
Kuffah mengirimkan utusan kepada beliau dan berjanji akan memberikan
bai’at kepadanya.
Ibnu Umar berkata : “Janganlah engkau pergi ke sana karena
sesungguhnya aku takut engkau akan terbunuh, dan sesungguhnya kakekmu
(Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah diminta oleh Allah untuk
memilih dunia atau akhirat, dan beliau memilih akhirat dibandingkan
dunia. Sedangkan engkau adalah bagian dari beliau dan sesungguhnya demi
Allah, engkau tidak akan mendapatkannya (kekhalifahan), engkau maupun
salah satu di antara orang setelahmu, juga Ahlul Bait mu”.
*Kita berada di zaman penindasan dan kezhaliman (mulkan
jabbariyah), dan selama imam mahdi belum muncul tidak ada khalifah dari
ahlul bait berdasarkan hadits….
Ibnu Katsir kemudian menjelaskan : “Kalimat yang berkedudukan
Hasan Shahih, yang tertuju pada kepada masalah ini dan sangat masuk
akal, yang disampaikan oleh sahabat yang mulia ini menunjukkan bahwa :
TIDAK AKAN ADA KHALIFAH DARI AHLUL BAIT KECUALI MUHAMMAD BIN ABDULLAH
AL MAHDI (IMAM MAHDI) YANG AKAN DIANGKAT DI AKHIR ZAMAN BERSAMA DENGAN
TURUNNYA NABI ISA IBNU MARYAM. HAL INI KARENA DEMI MENJAGA AGAR AHLUL
BAIT TIDAK TERPEDAYA DENGAN DUNIA DAN AGAR TIDAK MENGOTORI KEMULIAAN
MEREKA”.(Al Bidayah Wan Nihayah Juz 11/398)
Berdasarkan atsar hasan shahih ini dan berbagai komentar ahli nasab
terhadap keluarga Al Badry, tidak sedikit yang mengatakan bahwa nasab Al
Badry bukanlah Ahlul Bait. Namun demikian jika memang benar bahwa nasab
Al Badry di mana Syaikh Abu Bakar Al Baghdady dilahirkan merupakan
Ahlul Bait maka kemungkinannya adalah :
Pertama : Syaikh Abu Bakar Al Baghdady menjadi Khilafah bukan di atas
Manhaj Nubuwwah karena masih belum memenuhi syarat-syarat wilayah,
tamkin, ahlul halli wal aqdy dan sebagainya menurut jumhur ulama
mutaqaddimin dan muta’akhkhir.
Dan juga karena khilafahnya didirikan dengan dasar ghalabah
sebagaimana yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan (pendiri Daulah
Umayyah) atau Abul Abbas Ash Shaffah (pendiri Daulah Abbasiyyah). Atsar
Ibnu Umar di atas sangat jelas menyebutkan bahwa Khalifah dari Ahlul
Bait setelah Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Al Hasan bin Abi Thalib
adalah Muhammad bin Abdullah Al Mahdi.SEBELUM AL MAHDI, MEMANG AKAN MUNCUL KHILAFAH TAPI KHALIFAHNYA BUKAN DARI AHLUL BAIT.
Adapun mengenai pentingnya syura yang melibatkan jumhur ulama’
berikut penjelasan Asy Syahid –kamaa nahsabuh- Sayyid Quthb tentang
pentingnya Syura :
“Di sini, di ayat-ayat ini menggambarkan kekhasan jama’ah ini
(jama’atul muslimin) yang mana sifat ini telah dilekatkan secara kuat
dan menjadi sifat utamanya, padahal ayat-ayat ini sifatnya Makkiyah yang
diturunkan sebelum berdirinya Daulah (Khilafah) Islam di Madinah.
Sesungguhnya kami menemukan bahwa di antara sifat jama’ah ini adalah :
“…dan urusan-urusan mereka itu diputuskan dengan syuro di antara
mereka”. Dari ayat yang diwahyukan Allah di atas, maka sesungguhnya
penempatan kedudukan syura pada kehidupan kaum muslimin lebih dalam dari
sekedar sebagai aturan politik kenegaraan. Syura adalah tabi’at yang
sangat mendasar bagi jama’atul muslimin secara keseluruhan di mana semua
urusan mereka didasarkan atas syura tersebut, kemudian dari jama’atul
muslimin itulah syura diaplikasikan pada Daulah (khilafah) dengan sifat
asasnya sebagai sebuah proses alami pada Daulah Islamiyyah”. (Fie
Zhilalil Qur’an 6/327)
Dari penjelasan Sayyid Quthb di atas bisa kita pahami bahwa Syura
adalah asas utama umat ini dan dengan syura pula Khilafah Islamiyyah
‘Alaa Minhaajin Nubuwwah akan ditegakkan. Lalu bagaimana jika proses
syura ini yang justru disepelekan oleh ISIS??
Dengan syura, semua pihak bisa saling memberi nasehat, saling
menghargai perbedaan dan saling memberikan masukan. Semestinya ISIS
memberikan penghargaan dan keutamaan kepada para masyayikh jihad untuk
dilibatkan dalam syura Ahlul Halli Wal Aqdy, karena buah jihad ini
adalah berasal dari benih yang ditanam, dirawat dan dijaga oleh para
masyayikh pendahulu mereka itu.
Allah Azza Wa Jalla berfirman : “Dan Allah memberikan setiap mereka
yang memiliki keutamaan (balasan) keutamaannya”. (Qs. Huud : 3)
AL QUR’AN MENGAJARKAN KEPADA KITA AGAR KITA MENGHARGAI KEUTAMAAN PARA PENDAHULU KITA DALAM ILMU DAN AMAL.
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit, ia berkata : Rasulullah
Shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda :“Bukan dari kalangan kami orang
yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda di
antara kami. Dan menghargai hak orang yang alim di antara kami.” (HR.
Imam Ahmad dan Hakim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bahwa Rasul Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda : “Bukan dari kalangan kami orang yang tidak mengasihi
yang lebih muda di antara kami dan menghargai kemuliaan orang tua di
antara kami”. (HR. Ahmad)
Sabda Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam, “bukan dari kalangan kami”
adalah pelepasan diri yang berkonsekuensi bahwa pelakunya berhadapan
dengan ancaman tersebut dan ia menyimpang dari manhaj yang benar, sesat
dari jalan yang lurus, Minhaajun Nubuwwah.
Dari Abdullah Bin Umar Radhiallaahu ‘Anhu, Bahwasanya Suatu Ketika
Kami Duduk-duduk Di Hadapan Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Memperbincangkan Masalah Berbagai Fitnah…. Beliau-pun Banyak Bercerita
Mengenainya, Sehingga Beliau Juga
Menyebut FITNAH AHLAS…. Maka Seseorang Bertanya, Apa Yang
Dimaksud Dengan Fitnah Ahlas.….. Beliau Menjawab :
” Yaitu Fitnah Pelarian Dan Peperangan. …. Kemudian fitnah
SARRA, Kotoran Atau Asapnya Berasal Dari AHLUL BAIT-ku. Ia Mengaku
Dariku (KETURUNANKU), Padahal Bukanlah Dariku. Karena
Sesungguhnya WALI-ku Hanyalah Orang-orang Yang
Bertaqwa.
… Kemudian Manusia Bersepakat Pada Seseorang Seperti
Bertemunya Pinggul Di Atas Tulang rusuk. Kemudian Fitnah DUHAIMA, Yang
Tidak Membiarkan Seseorang Dari Ummat Ini Kecuali Dihantamnya. Jika
Dikatakan ia Telah Selesai, Maka ia Justru Berlanjut. Di Dalamnya
Seorang Pria Pada Pagi Hari Beriman, Tetapi Pada Sore Harinya ia Menjadi
Kafir.Sehingga
Manusia Menjadi Dua Kelompok. (Yaitu) Kelompok Keimanan Yang
Tidak Mengandung Kemunafikan….. Dan Kelompok Kemunafikan
Yang Tidak Mengandung Keimanan….. Jika Itu Sudah Terjadi, Maka Tunggulah
Kedatangan Dajjal Pada Hari Itu Atau Esok Hari.”
[ HR. Abu Dawud ]
Wallahu a’lam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar